Senin, 16 Maret 2015

Aku


Aku adalah orang bodoh. Bagaimana tidak bodoh jika Aku itu tidak pernah menyiram bekas buang airnya sendiri.
Aku adalah orang yang bodoh. Bagaimana tidak bodoh, Aku bahkan selalu tertawa nyaring di antara orang-orang yang sedang berkabung. Apalagi, Aku selalu bertanya berapa hasil dari satu ditambah satu secara berulang-ulang hingga si penjawab merasa sangat dibodohi, padahal Aku memang orang yang sangat bodoh.
Banyak orang marah kepadanya, "Hei Aku! mengapa kau tidak pergi saja dari lingkungan ini!"

Bagaimana orang tidak marah kepadanya, dia membuang sampah di teras tetangganya yang rajin beribadah dan sangat baik kepada sesama. Semua orang tidak terima akan kejadian itu meski sang korban enggan mempermasalahkan perbuatan si Aku. "Teras itu memang tempat sampah!" ujar Aku sembari menunjuk teras rumah tetangganya yang sama sekali tidak mirip tempat sampah. "Jika bukan disitu, dimana lagi aku harus membuang sampah-sampahku ini? Di mulut kalian?"
Banyak orang geram kepadanya. "Jika kamu terus seperti ini, kami akan melaporkanmu kepada polisi!"
Bagaimana pula orang tidak geram kepada Aku, sedangkan dia saja setiap hari selalu mencubit bokong anak-anak para tetangganya yang tidak punya salah sampai menjerit kesakitan dan kemudian menangis. "Bokong mereka memang harus dicubit, bokong mereka itu nakal, mereka selalu mengeluarkan kotoran yang bau dan kemudian membuat orangtua mereka susah payah membersihkannya." Teriak Aku.
Aku pernah bilang kepada Yanto tetangganya, kalau tidak ada seorang pun yang berani untuk mengerti perasaannya. Meski saat itu Aku berbicara dengan nada suara yang halus, Yanto yakin kalau Aku marah besar dan menyimpan banyak dendam di dalam hatinya kepada warga sekitar. Aku bahkan sempat tertawa histeris setelah pengakuannya itu. Yanto hanya bersikap santai dan hati-hati. Dia tidak mau melakukan banyak hal karena takut menyinggung perasaan Aku.
Bagaimana Yanto tidak takut, kalau orang yang menggaruk hidung mereka di hadapan Aku saja, mereka langsung didamprat olehnya. "Hei bodoh! Jangan menggaruk hidungmu. Apa kalian tidak pernah merasakan tinjuku!" hardikan Aku itu disertai dengan wajahnya yang merah padam dan urat leher yang menyembul. Terlihat sekali kalau dia benar-benar membenci hal itu.
Sungguh gila kelakuan si Aku. Tidak ada orang yang berani melakukan kontak fisik dengannya. Warga hanya berani berteriak kepadanya dari jarak jauh. Setelah meneriaki Aku, mereka menunggu ekspresi Aku. Apakah dia marah, atau malah tertawa. Jika marah, warga hanya bisa diam dan berlalu begitu saja. Jika tertawa, warga pun menyumpahinya dalam hati, "Dasar orang gila", kemudian berlalu.
Adalah Pak Haji, yang berani melakukan percakapan dengan Aku. Kejadian itu terjadi setelah Aku selesai memarahi adik Yanto yang bernama Didi karena menggaruk hidungnya di depan Aku. Bersamaan dengan kejadian itu, Pak Haji yang baru selesai beribadah di surau langsung menghampiri Aku, "Ada apa ini?" Pak Haji heboh.
"Oh, Pak Haji," Aku menyalami Pak Haji dengan segala rasa hormatnya, "Begini Pak Haji, Adik Yanto ini, dia menggaruk hidungnya di depanku. Aku tidak suka anak bodoh seperti dia." Ucapnya sewot.
"Apa masalahmu? Kenapa kamu tidak suka dengan tindakan yang sama sekali tidak dipermasalahkan oleh orang banyak." Pak Haji mulai serius bertanya, sementara Didi memilih untuk pergi meninggalkan mereka berdua, menghilang secara perlahan namun pasti.
"Apa Pak Haji tidak sadar kalau yang dia lakukan itu sangat bodoh?"
"Bodoh apanya?" Pak Haji mulai bingung.
"Orang yang menggaruk hidungnya itu berarti merendahkan kita. Bagaimana bisa aku diam saja ketika direndahkan oleh orang lain?" Jawab Aku sewot.
Pak Haji mulai bingung dan berusaha untuk mengerti isi pikiran Aku yang selama ini memang dianggap warga sekitar mengalami gangguan kejiwaan.
Aku adalah seorang pria kurus kering berusia 24 tahun. Tidak ada yang tahu kenapa dia bisa berubah jadi bodoh. Sebelumnya, dia memang seorang pria penyendiri yang hanya bekerja sebagai buruh bangunan. Dia mengontrak rumah yang harga sewanya paling murah di kampung itu. Suatu ketika, Aku keluar rumah dalam keadaan tel*njang bulat. Sontak seluruh warga di kampung itu berkumpul dan heran atas tindakan yang dilakukan oleh Aku. Dia berteriak keras tanpa henti dengan mengeluarkan kata-kata cacian kepada bosnya. Dia bilang kalau bosnya itu merampas semua pakaian miliknya sehingga dia tidak punya sehelai pakaian pun untuk dipakai. Tidak ada warga yang paham dengan kejadian yang sebenarnya. Sebagian dari mereka hanya sibuk mencari pakaian bekas yang mereka miliki untuk diberikan kepada Aku. Sebagian lagi hanya bisa saling berbisik satu sama lain dengan wajah keheranan sambil menontoni Aku yang masih saja berteriak di tanah lapang kampung mereka. Saat itu, warga masih menaruh simpati kepadanya. Sekarang semua itu hanya tinggal ampas di dalam secangkir kopi hitam.
Hari berikutnya Aku kembali ke luar rumah dengan tidak memakai sehelai benang pun di tubuhnya, seolah kain pelindung tubuh itu hanya akan mengganggu kelincahan gerakannya. Kali itu dia tidak berteriak. Dia hanya memamerkan kemalu*nnya kepada para wanita yang berlalu di dekatnya "Bagaimana tubuhku? Indah bukan?". Kata itu terus diucapkannya kepada setiap kali ada yang lewat. Setelah kata-kata itu terlontar, gelak tawa dari Aku tidak lupa teriring.
"Aku, dulu kau adalah orang yang sopan dan sangat santun terhadap sesama. Kau tidak pernah marah jika kau diejek oleh siapapun. Aku sangat senang dengan dirimu yang dulu." ujar Pak Haji.
"Apa yang berubah dari hidupku? Aku tidak melakukan apapun. Aku sudah seperti ini sejak aku dilahirkan. Aku yang tidak suka direndahkan oleh orang lain. Aku sangat kuat."
Pak Haji mulai melangkah lebih dekat ke arah Aku, "Kuat bagaimana?" dia mengernyitkan dahinya keheranan.
"Hahaha… apa Pak Haji tidak sadar kalau aku bisa hidup sendiri di dunia ini selama bertahun-tahun? Itu semua karena aku kuat!" jawab aku dengan angkuh. Dia mulai meninggikan pandangannya ke arah Pak Haji yang sangat dihormati warga kampung itu. Aku mulai menganggap remeh orang yang berada di hadapannya. "Aku sudah akrab dengan suasana sepi, bahkan aku masih sanggup tertawa keras di dalam situasi yang seperti itu."
"Hanya itu?" tantang Pak haji.
"Tentu tidak," Aku melipat kedua tangannya ke atas perut. "Kuat adalah ketika aku dipecat oleh bosku karena sebuah fitnah yang menjengkelkan, dan aku masih bisa tertawa karenanya. Kuat adalah ketika aku tidak bekerja lagi seperti sekarang ini, dan aku masih bisa hidup dan tentunya masih bisa terus tertawa. Dan kuat adalah ketika aku terus menerus digunjing oleh warga sini karena aku jarang memakai baju dan aku tidak marah akan itu. Aku tahu semuanya. Karena aku kuat, makanya aku bisa meredam hal-hal itu."
Pak Haji sadar kalau apa yang barusan dibicarakan oleh Aku bisa jadi adalah penyebab kenapa dia menjadi seperti sekarang ini. Mungkin karena bosnya yang membuatnya stres. Makanya Pak Haji langsung melunakkan hatinya dan mencoba mengerti situasi yang dihadapi Aku dalam hidupnya. "Jadi kau bertingkah seperti ini karena bos bodohmu itu?" Tanya Pak haji mencoba membela Aku.
"Tidak!" Aku pun berlalu dan menundukkan wajahnya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar